Class 1: Latin Class

Sedikit jengkel akibat gadis yang menabraknya tadi. "Dasar! Jalan tuh pakai mata!" Bentaknya sambil mendengus kesal. "Lebih baik kau istirahat sebentar, kantung matamu tebal banget. Lagipula nahan ngantuk itu gak sehat, sebentar lagi juga pelajaran berakhir." Tegurnya sambil berpaling. Heh; apaan sih. Pagi-pagi udah bikin orang boro-boro. Eh-tunggu, mungkin ini kesempatannya untuk- ah, tidak, tidak, dan itu mustahil. Oke, itu sangat mustahil, dan kata-kata mustahil pernah dicatat di kamus kehidupan Minori. Tunggu- omongan apaan ini.

Sedikit menarik nafas dalam, kemudian menatap tajam guru itu dan duduk di bangkunya kembali. Rasa sakit di kepalanya tadi; masih terasa mungkin karena kepala anak itu keras; rasa terbentur yang bahkan lebih sakit daripada terantuk ubin. Membuka kamus Latin tua miliknya dan menengadahkan kepalanya ke atas; dan menaruh buku Latin itu di wajahnya. "Tuhan, apa yang terjadi hari ini.. Dan kenapa aku harus bertemu dengan gadis aneh?" Gumamnya sebal sambil mengangkat tangannya setinggi dada.

"Hmm.. Kau Wolfe Soloviev, sang vokalis Union Z, kan? Apakah adik sepupuku bertingkah keterlaluan?"

Mendengus.

"Kalau adikku sampai memasang ekspresi seperti itu, maka kurasa itulah yang terjadi," dia menimpali sembari menyandarkan diri pada kursi dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Sang vokalis sama sekali tak tahu apa akar permasalahan yang membuat dua gadis remaja itu panas, jadi dia memutuskan untuk tidak banyak berkomentar daripada memperpanjang masalah. Tolong maklumi, saudara dan saudari, apa daya bawaan para Soloviev memang seperti ini.

"Big bro, aku sudah mencari chord yang cocok untuk verse kedua lagu yang kita buat kemarin. Ada sedikit perubahan di birama keempat, see, soalnya melodinya bakal main setelah itu."

"Birama keempat? Memang, transisi dari verse ke melody  yang sebelumnya agak kasar," mengikuti topik pembicaraan baru yang diutarakan adik tersayangnya, pemuda itu mengambil secarik kertas kemudian menulis not-not balok kasar dan huruf kord di atasnya. Selesailah beberapa baris birama lagu saat sang pengajar memasuki ruang kelas; membuat sekilas semangat terbesit dalam benaknya. "Kita akan melanjutkan pembahasan ini nanti—setelah pelajaran berakhir."

Sang vokalis meletakkan bolpoinnya di atas meja kemudian beranjak menuju depan kelas untuk mengumpulkan pekerjaannya yang telah rampung. Namun apa yang terjadi—seorang gadis bersurai merah muda menubruk gadis lainnya yang tadi sempat beradu mulut dengan adiknya tanpa sengaja tepat di depan meja guru. Menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan gadis temperamen itu; tak heran jika adiknya memasang air muka kusam pagi-pagi seperti ini. Ralat, pemuda temperamen ini justru mengecap orang lain dengan hal yang sama.

Wolfe meletakkan buku pekerjaannya di atas meja kemudian berbalik tanpa berbicara apa-apa. Dia tak begitu peduli dengan gadis berkantung mata itu—lagipula, bukan dia yang ditabrak—namun yang dia pedulikan saat ini adalah pemuda yang tadi mengenalkan dirinya sebagai sepupu sang gadis temperamen. Sebelum kembali ke bangkunya, dia memutuskan untuk singgah sebentar di sisi bangku sang pemuda.

"Perangai sepupumu buruk sekali," bisiknya dengan nada sarkastik, sedikit menyunggingkan sudut bibirnya. "Yah, setidaknya kakak sepupunya jauh lebih baik."

-Minori's PoV-

Sungguh deh, pertanyaan ini membuat emosinya memicu. Dia mau memberhentikan pertengkaran mereka berdua; eh malah kena masalah lain. Yah, untuk anak baik, sebaiknya jangan ikut campur urusan orang. "Paenitet*, murid listrik," Ucapnya seraya tersenyum sinis. "Belum pernah aku semarah ini. Benar-benar anak kurang ajar, kau harus kuberi pelajaran- Dan omonganmu yang pedas itu—tak akan kubiarkan. Tunggu saja—mulutmu akan robek nanti".

Ito menatap Minori sinis, dan melepaskan tatapan sinis itu ketika ada seorang gadis Perancis yang menubruk tubuh gadis menyebalkan itu.

Terbelalak atas ucapan pedas itu. Memang- gadis bersurai merah muda itu salah; karena tidak hati-hati. Tapi bukannya kesalahan yang tidak disengajai itu mesti diatasi dengan ucapan "Oh, gak apa-apa kalau memang gak sengaja"? Duh, bener-bener deh, gadis ini menyebalkan dan cabe rawit. Rasanya dia ingin merusak kemampuan gadis itu.

Pandangannya langsung teralihkan ketika seorang pemuda bersurai coklat menaruh buku tulisnya dengan cueknya, setelah itu menghampiri pemuda bersurai biru, dan mengobrol dengan pemuda bersurai coklat itu. Yah- Memang ini adalah urusan pribadi yang harus ditangani sendiri, bukan ditangani orang lain ataupun teman. Alisnya mengkerut melihat gadis menyebalkan itu menatap sinis kaki si gadis Rockstar, dan yang bisa dilakukan Ito hanyalah diam dan tak melakukan apapun selain melihat kejadian selanjutnya.

Seorang pemuda bersurai putih nampak berlari tergesa-gesa, bagaikan dia hendak diserang badai. Bagaimana tak terburu-buru, ini sudah ke-100 kalinya dia terlambat, dan tak ingin mendapatkan ke 200-kalinya lagi. "Tunggu, tunggu, tunggu, jangan ditutup" Ucapnya seraya mengangkat tangan sambil berlari, ketika bibi penjaga gerbang sekolah ini-Midnight Academy, tengah hendak menutup gerbang. Dia berlari dengan sekuat-kuatnya, hingga sampai di depan pintu oak raksasa. Jam tangannya menunjukkan pukul 07:43, dan lebih parahnya lagi-Ini bukan jam asli. Ini adalah jam tangan yang digambar dengan spidol. Yah, setidaknya setting waktunya tepat pada waktu sekarang ini.

"Harusnya aku bangun lebih dulu," Pikirnya kesal seraya merogoh botol minuman di sisi kanan ransel hitam miliknya. Dia membuka botol minuman itu, dan meminumnya. "Kenapa rasanya asam," Keluhnya seraya menengok ke arah tanggal kadaluarsa. Tanggal 30 Juli. Memang-Minuman itu berada di dalam tasnya dalam waktu selama itu, dan mungkin, dia lupa mengeluarkannya, karena tas ini tidak dipakainya selama 2 bulan, yaitu Mei dan Juni. Tas ini kenangannya, tempat kenangan pahit bersarang. Dengan perasaan jijik dia membuka pintu dengan cara membantingnya sehingga menyebabkan bunyi yang keras, dan mungkin semua murid di sana terkejut. "Emm.. Maaf," Keluhnya. "..Toilet di mana, ya"

Pertanyaan yang bisa disuguhkannya hanyalah pertanyaan yang bodoh itu.

Sedikit kaget dengan kedatangan pemuda bersurai putih itu. Manik abu-abu-nya setengah tertutup; dengan reaksi sweatdrop. Kalau tidak salah, dia adalah anggota keluarga bangsawan Ichikuya. Heh, malu-maluin, punya anak kayak begini. Padahal dia adalah keluarga bangsawan yang terkenal, tapi kenapa tingkahnya harus malu-maluin? Ah, sudahlah, kembali ke plot.

Alisnya mengkerut ketika pemuda bersurai putih itu menanyakan hal bodoh itu. Entah kenapa, otaknya memerintahnya untuk berjalan ke hadapan pemuda itu, sehingga dia menapakkan kakinya ke murid yang baru masuk kedua kalinya. "Hei, si bangsawan Ichikuya," Sapa Shitori dengan nada sedikit dipaksakan. "Kau pikir ini sudah jam berapa. Bangsawan kok sikapnya kayak gini; malu sedikit, kek."

Huh?

Dia sedikit mual akibat minum minuman expired; dan menanyakan di mana toilet berada. Tapi kok—malah dijawab begini.

"Memangnya kau tahu apa soal aku?" Desak Rineto. "Toh, kau bukan keluargaku; dan juga bukan temanku. Dasar ngaco." Lanjutnya seraya menatap gadis bermanik abu-abu itu dengan malas. Memegang kedua bahu gadis itu, dan menyingkirkan gadis itu dari hadapannya. Berjalan menuju bangku di depan gadis berambut pink itu; yang tentunya masih kosong, setelah itu duduk.

"Antara masalah serius dan masalah yang tidak terlalu berat," Ucapnya seolah-olah tidak ingin ikut campur masalah lagi. "Dan, bukankah lebih baik jika kau mengerjakan tugas yang kuberi? 15 menit lagi, waktunya istirahat"

Sedikit tercengang melihat pertengkaran antar pemuda bersurai putih dan gadis bersurai hitam itu. Pertengkaran di mana-mana~ Dan sekarang, tepat di depan matanya, melihatnya dengan matanya sendiri. Ya ampun, semasa hidupnya, Ito tidak pernah menyaksikan pertengkaran ataupun bertengkar. Dasar anak-anak jaman sekarang. Lebih baik jadi jadul daripada jarang.

Menengok absensi murid, dan mencari nama dengan marga 'Ichikuya'. Menemukan nama Rineto Ichikuya. Oke, bagus. Sekarang yang harus dilakukannya adalah tetap diam, dan tidak melakukan apa-apa.

Akuro's PoV

Seperti apa yang diperintah guru itu, Akuro langsung mengerjakan soalnya, sesuai perintah. Beberapa menit kemudian, seorang gadis bersurai pink baru saja menabrak gadis bersurai coklat; Minori Minoguchi, gadis yang bertengkar dengan Raven Soloviev, gadis yang dia sebut-sebut 'rockstar' itu. "Aku memang bodoh," Keluhnya. "Kenapa aku harus jadi saksi pertengkaran mereka, hum? Andaikan saja aku bukan murid di kelas ini." Maniknya sedikit menutup karena kelopak mata yang setengah diturunkan. Beberapa detik kemudian, tugasnya selesai. Meletakkan pensil mekanik-nya di meja, dan membawa tugasnya ke meja guru, meletakkannya begitu saja. Tak peduli apakah letaknya berantakan; salah, dan lain-lain. Sewaktu dia duduk, pintu oak kembali berdecit, dan gadis bersurai hitam bertengkar dengan pemuda bersurai putih. Pemuda itu lalu memilih tempat duduk di depan Mimeko; gadis berambut pink. Ampun deh. Pertengkaran lagi. Sepertinya dunia ini hampir hancur.

Hanya tersenyum kecil sambil menaikkan tangannya ketika pemuda itu menaikkan tangan ke arahnya. Bagi dirinya yang terpenting adalah pelajaran Latin; bukan fanners. Lalu, dia mendengarkan perintah dari guru itu. Hazelnya bergulir malas ke arah ransel di samping kanan kursinya; dalam keadaan terebah. Membukanya kemudian mengambil buku paket Latin; kamus Latin; kotak pensil; beserta buku tulis Latin. Menutup tasnya, lalu kembali duduk tegak. Tangannya diangkatnya tinggi-tinggi. Hazelnya menatap guru itu. "Saya, sensei" Ucap Ume dengan nada ragu. Mungkin dia masih malu.

Mizuro hanya bisa mengangguk pasrah ketika dia diperintah oleh guru itu untuk mengerjakan soal yang diterakan di papan tulis. Hampir saja dia melakukan Fire Popup pada guru itu, tapi apa boleh buat, dia berhasil mengendalikan emosinya, dan sadar bahwa dia harus mengerjakannya jika ingin masuk kelas B+. Lalu aa yang terjadi.. Seorang idol yang berasal dari Iwate, Ume Itsuka, menjadi murid baru di sekolah ini. Dia adalah salah satu fanners beratnya- terhadap kecantikannya, dan juga suaranya yang merdu. Ini adalah kesempatan bagus baginya untuk berkenalan dengan artis yang selama ini dia sukai. Tapi.. Rupanya, rivalnya ada di kelas ini. Seorang pemuda dengan rambut coklat dan poni ombak membalas sapaan gadis itu. Emosinya tak bisa dikendalikan lagi. Ah, tapi.. Memang wajar jika dia punya banyak fanners. Karena dia seorang artis. Bodohnya mizuro, tak berpikir tentang hal itu. Dia segera mengerjakan soal yang ditulis di papan tulis, mengumpulkannya, lalu dia mampir ke tempat sang idola. Yang harus dilakukannnya? Apa? Mencium gadis itu? Atau.. Dia minta tanda tangan gadis itu, dan gadis itu harus menuliskan tanda tangannya di dadanya? Hehe.. Mizuro berpikiran jorok. Lalu; dia mengambil sisi positif, yaitu menyapanya dan berbincang dengannya selama 1 minggu / 1 bulan, setelah itu langsung tembak dia. "Halo," Sapanya. "Erm.. K-Kau canti-canti-cantik sekali.. M-M-M....Merdunya suaramu.. Bo-Bolehkah.. K-K-K..K-Kita jadian?" Tanya mizuro.. XD. Akhirnya dia menyatakannya juga. Sekarang, tinggal menunggu jawabannya.

Apa yang terucap di mulut pemuda bersurai coklat ini serasa mengejutkan.

Mengangkat tangannya setinggi dada. "Maaf, aku tak bisa." Balas Ume. "Lagipula, aku sudah punya orang yang kusukai. Dia orang yang sangat keren; ada di sekolah ini. Gomen," Lanjut Ume. Dia tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya. "Dan, dia.." Ucap Ume sambil menunjuk ke arah pemuda berambut coklat dengan poni ombak yang tadi mengangkat tangan ke arahnya. Hazelnya memandang pemuda itu, wajahnya memerah. Menumpu wajahnya memakai tangan kanannya.

Selesai mengerjakan soal yang tertera di papan tulis, dirinya langsung berjalan menuju meja guru, dan tentunya, meletakkan buku tulisnya di atas tumpukan buku tulis Latin itu. Kembali ke bangku. Lalu apa yang terjadi; seorang idol dari Iwate datang menghebohkan kelas. Huh. Shitori bukan anak kecil lagi; bukan kawanan monyet yang selalu berseru bikin ribut. Dia bukan orang seperti itu. Dia sudah dewasa. Ya, dewasa. Menyandarkan dirinya pada kursi, tapi; ada sesuatu yang menjanggal di benaknya. Eh, iya. Dia akan berteman dengan gadis bersurai coklat di sana; untuk bertanya kenapa dia bertengkar. Berdiri kemudian menghampiri gadis bersurai coklat itu. "Halo," Sapanya.

Dia berhasil menguping pembicaraan antar si pemuda berambut coklat dan gadis bersurai krem. Hazelnya melirik mereka berdua. Sedikit berdebar ketika gadis itu menunjuknya sebagai orang yang disukainya. Wow aja deh. Aneh. Gadis idol menyukainya yang kampungan? Eh, tapi, memang banyak sih yang suka sama Akuro, mungkin karena rambutnya dan wajahnya #plak. Oke, lanjut.

Bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri gadis itu. Memegang erat tangan gadis yang menunjuknya tadi. "Apakah.. Benar kau berpikir begitu?" Tanya Akuro sambil masih berdebar. Matanya menatap gadis itu serius, seakan-akan hendak mengetahui jawabannya.

Sapaan dari gadis bersurai hitam itu membuatnya apa gitu. Dia sudah terbiasa dimusuhi, tapi bukankah suatu hal yang aneh, jika seseorang yang ganasnya minta ampun disapa oleh seorang gadis bersyal merah yang tampak manis? Mengubah ekspresi wajahnya menjadi tersenyum cerah, sambil mengetukkan jarinya di meja belajarnya. "Halo juga. Kau sudah mengerjakan soal di papan tulis? Benar-benar mudah," jawab Minori sambil memainkan jemarinya. Tapi, rasa penasarannya kepada gadis bersurai hitam itu belum kunjung hilang. Rasa penasaran itu membuatnya.. Hampir muntah.

Sudah telat?
Pertanyaan itu berkali-kali dilontarkannya ketika dia mencoba untuk berfikir bahwa dirinya tak telat. Ini semua karena mencari tasnya yang ternyata ada di dapur, dan pasta gigi yang salah. Padahal selama ini dia tak pernah terlambat, loh. Dia malahan di-cap 'Anggota Dewan Paling Disiplin' di organisasi sekolahnya. Salah-salah cap itu dipindah ke orang lain, loh. Aduh, semoga saja nggak, deh. Dia menengok jam kalungnya. 07:21. Tapi, jam di negara bagian Barat kan beda sama sini. Sudahlah, sekarang bukan waktunya kalang kabut. Yang penting adalah apakah pelajaran sudah dimulai atau belum. Tentunya, dia tak ingin ketinggalan pelajaran yang disukainya, Latin. Kini dia sampai di suatu gerbang bertuliskan 'Midnight Academy'. Dia tersenyum, kemudian masuk dan berjalan di atas koridor. Dia sampai di pintu oak berplat. Nah, apa lagi sekarang? Stand still and do nothing?. Bukan itu, bukan. Yang dipilihnya kini adalah masuk di kelas, dan terpaksa mendengar ejekan murid-murid. Ketika masuk, apa yang dilihat, keadaan kelas masih sepi dan ada orang bergerombol di suatu meja, namun sang guru sudah di sana. Matanya melirik sang guru takut-takut, kemudian duduk di belakang pemuda bersurai biru.

"non ancora*, tapi tampaknya mudah. Bagaimana denganmu?" ucapnya. "Tapi aku lebih ahli Itali ketimbang Latin, dan juga aku cukup gak suka Latin; bahasanya bikin aku bingung," lanjut Shitori sambil menyandarkan diri ke meja. Hazelnya bergulir ke arah pemuda berambut keemasan yang barusan masuk, dan takut-takut berjalan.

This will be a good show.

Mengangguk pelan.
"Tentu saja! Aku-aku hanya menyukaimu, itu saja. Apa lagi?" jawab Ume sambil mencoba melepaskan genggaman tangan pemuda bersurai coklat itu. "Yah, kalaupun aku serius, ada kalanya aku bohong," lanjut Ume. Hazelnya bergulir ke arah pemuda ber-iris emas di sana, kemudian mengedipkan sebelah matanya ke arah pemuda ber-iris emas itu.

"Aku sih sudah mengerjakannya, see, sampai aku menabrak seorang gadis berambut pink yang tadi aku sapa dengan ramah. Harusnya aku menyapanya dengan kasar saja, bukan ramah bagaikan kucing yang meminta dibelai majikannya," jelas Minori sambil memasang wajah kusut, dan menggulung ujung rambutnya dengan jari telunjuknya. "Omong-omong, kudengar tadi kalau tak salah kau mahir bahasa Itali. Bisa tolong tuliskan bagaimana bahasa Itali 'aku membencimu' di kertas ini?" tanya Minori seraya mengambil pulpen ungu, dan kertas, kemudian menyodorkan kedua barang itu ke Shitori. "Yah, bukan berarti aku mau memberikan surat itu ke orang lain atau apa, aku hanya ingin tahu," jelasnya.

Mengangguk pelan, sambil melepaskan genggamannya.
"Jadi aku ini apa? Orang yang kau sukai, tapi tidak pakai perasaan? Orang yang kau tidak sukai, tapi kau mempunyai perasaan kepadanya? Ataukah bukan dua-duanya? Mana yang kau pilih?" tanya Akuro sambil menunjuk wajah gadis itu. "Memang, ini bukan masalah bagimu. Dan juga bagiku, tentunya. Aku hanya ingin mengetahui, mengapa engkau menyukaiku? Kenapa kau berkata sebegitu entengnya di hadapan orang lain; idol sepertimu? Izinkan aku bertanya seperti itu. Itu saja yang ingin kuketahui. Itu saja yang ingin kukorek, perasaanmu itu membuat hidupku hancur." jelas Akuro panjang lebar. Kini dia ada di suatu lingkaran masalah, masalah tentang hubungannya dengan sang idol Iwate, Ume Itsuka. Coba kau pikir lagi. Idol nominan 2 besar Iwate menyukainya? Andaikan kau disukai oleh seorang idol, mungkin kau akan memamerkan sang idol di hadapan orang lain. Tapi susah juga sih, punya pacar idol.

...Serius. Coba prediksikan, seorang idol menyukaimu, dan kau jadian dengannya? Dia banyak jadwal, dan kalian dikucilkan, sendirian, di rumah kalian? Dan sewaktu kencan, kalian diganggu reporter? Tentu tidak, ini adalah Midnight Academy, yang tidak membolehkan orang asing masuk, terkecuali warga sekolah & para murid yang hendak mendaftar. Tapi waktu kencan bisa-bisa dikerumunin para murid, lho. Itu masalahnya.

Oswald malang meletakkan tasnya di belakang punggungnya, menyandarkan dirinya di tas empuk seempuk kulit biri-biri dengan warna ungu gothic. Dia memang tidak menyukai gothic apalah itu, norak baginya, tapi kakaknya yang rewel tetap memaksanya memakai benda-benda gothic supaya diejek. Oswald memandang sekitar, kemudian berbalik dan membuka resleting tasnya. Dia mengambil buku bersampul topaz, dengan stiker berwarna pearl di sisi tengah atasnya, yang bertuliskan 'Oswald'. Dibukanya buku yang nampaknya jurnal kehidupannya itu, kemudian menulis kata-kata di bawah:

"Apa kabar? Semua orang di sini belum terlalu akrab denganku,
Bahkan aku juga belum menyapa mereka. Pahahahaha!"

Emerald milik Oswald bergerak menuju gadis bersurai pink, pemuda bersurai coklat, dan pemuda bersurai coklat kehijauan di sana. Dia kembali menulis.

"..Tapi, sedihnya, aku belum bisa dapat teman, gara-gara aku cuma bisa ngomong Rusia.. Tapi, tak apa! Mungkin ada orang yang bisa ngomong Rusia di sini..."
Dia menulis hal di atas sambil melirik ke arah gadis beranting bintang di sana. Ah, itu.. Raven Soloviev, penyanyi dari band terkenal yang mengandalkan genre Rock. Hm, Oswald suka mendengarkan beberapa track dari band keluarga Soloviev. Nanti, mungkin Oswald akan berkenalan dengan mereka.

Begini?