Class 1: Latin Class

Senin, 24 September, 07:00

Nampak semua murid kelas 0 sibuk dengan kegiatannya sendiri, misalnya bermain-main, membaca buku, dan kegiatan lainnya. Jam masuk adalah jam 07:29, dan mereka masih punya 29 menit untuk bermain-main. Sesosok pemuda berambut coklat dan berbadan tegap membuka pintu kelas 0. Pintu itu berdecit, jadi pemuda itu membukanya dengan perlahan. Pemuda itu mengambil bangku tepat di belakang gadis berambut pink yang kelihatan kalem. Pemuda bernama Akuro ini melipat tangannya di meja, dan membenamkan wajahnya, menatap lantai. Tidak ada seorangpun yang memerdulikannya, hanya karena kelas ini kebanyakan dihuni oleh perempuan. Perempuan adalah-Kelemahan terdalam Akuro.

OOT: Ayo, silakan, yang mau nge-RP, bebas kok, mau duduknya dimana, trus lagi ngapain..

Seorang gadis berambut pink bernama Mimeko melamun sebentar, kemudian tersadar dari lamunannya, mendengar ada orang yang berada di belakangnya. Dia menoleh ke belakang, yang ada hanyalah Akuro Kejitani, murid tahun pertama, yang juga sama sepertinya.

Awalnya, dia tidak memerdulikan Akuro, namun, lama-lama dia sedikit kasihan kepada Akuro yang tidak diperdulikan. Tapi bagaimana cara menegurnya? Eeh..Kalau dipikir-pikir, tidak menegurnya tidak apa-apa, pasti akan ada murid laki-laki yang masuk ke sekolah ini.

Mimeko menutup matanya, menunggu hingga pintu kembali berdecit, memohon bahwa akan ada murid baru yang se-gender dengan Akuro. Dia tahu, bahwa permohonan itu tak akan terkabulkan secepat itu. Dengan jantung berdetak kencang, dia mencoba sebisanya untuk menegur Akuro, tapi gagal. Dia langsung menoleh begitu saja ke arah Akuro, namun Akuro tetap tidak memperdulikannya.

Kau tahu, Mimeko bukan orang yang bisa diajak berkenalan, walaupun dia selalu emosian. Sikap yandere-nya itu yang membuatnya ditakuti, walau sebenarnya dia lembut. Mimeko mulai memikirkan bagaimana caranya berkenalan dengan Akuro. Berharap bahwa Akuro juga mempunyai firasat yang sama.

"Oke..Mimeko, yang harus kau lakukan hanyalah menoleh ke belakang, dan menyapanya" Ulang Mimeko dalam hati. Dia langsung menoleh ke arah Akuro. Dengan mengeluarkan seluruh keberaniannya. "Eeemm..H-Haii....N-Namaku..Mi-Mimeko.." Sapa Mimeko dengan gugup.

Tersadar bahwa gadis berambut pink bernama Mimeko itu menyapanya, dia langsung mendongak ke atas, dan melihat wajah gadis itu. Ternyata, gadis itu serius menyapanya. "Eeeeemmm..Haaaaii..." Jawab Akuro, sambil bangkit dari duduknya, dan berjalan mendekat ke arah jendela. Matahari nampak mulai muncul di ufuk timur. Akuro menempelkan jari telunjuknya ke jendela itu, menunjuk ke arah matahari tersebut.

"..Indah sekali...." Ucap Akuro dalam hati, sambil menempelkan telapak tangan kanannya ke jendela tersebut. Akuro tidak pernah turun sekolah sepagi ini, sebelum semua orang datang ke sekolah. Yang dia lihat selalu matahari sudah di arah timur, dan sudah terbit sepenuhnya. Dia menghela nafasnya, dan menyebabkan uap di kaca jendela. Dia menuliskan suatu kata di uap tersebut.

Akuro memang aneh, karena selama ini dia tidak pernah melihat matahari, dan karena Midnight Academy selalu gelap kelam. Untung saja dia memilih kelas di samping timur. Dia berjalan menuju bangkunya, dan melipat tangannya. ".....Aku tidak mengerti, apa tujuan akademi ini?"

Plis deh, demi apa ini nggak banget.

Gadis bersurai malam itu mendengus, sesekali obsidiannya memandangi jam tangan aubergine yang melekat di karpusnya dengan alis berkedut. Predikat 'Yang Selalu Datang Tepat Waktu' bisa-bisa terancam terlepas hanya karena harus terjebak ocehan konyol bibi penjaga asrama, dengan cerita-cerita ilogikal yang sulit dihentikan. Naluri akan waktu berpacu bersamaan dengan detak jantungnya. Loafers hitamnya menanggalkan suara ketukan berirama cepat, nada datar bertempo sekitar seratus dua puluh terus mengiringi langkah bungsu Soloviev. Dalam kondisi apapun, ia harus sampai ke dalam kelas sebelum pelajaran dimulai.

Sebelum itu, yuk pasang muka seger.

Rem di kakinya aktif saat berada persis di depan pintu kayu oak raksasa dengan plat bertuliskan Class Zero di atasnya, seulas senyum terukir di wajah ovalnya saat mengetahui bahwa ia masih punya waktu sepuluh menit sebelum kelas dimulai. Tangannya meraih gagang pintu, mendorongnya penuh semangat sembari menyapa entitas yang berada dalam ruangan itu. "Good morning, guys! Ready to rock for today?"

Mengawali hari dengan sapaan bagai anak band yang mau manggung, hem?

Akuro tidak terlalu kaget dengan sapaan gaya anak gaul itu, dia tetap saja menatap lantai. Beberapa detik kemudian, dia mendongak, dan melihat seorang gadis rockstar yang berasal dari sekolah ini. Akuro mendengus sebentar. "...Eeehh...Yaaa..." Jawab Akuro dengan nada malas.

Saat ini, otaknya masih penuh dengan pikiran-pikiran yang membuatnya bosan, sikap emosi miliknya mulai memudar. Perlahan, dia kembali melipat tangannya, dan membenamkan wajahnya. "...Dan sekali lagi...Aku bukanlah murid yang serba sempurna- Tidak sepertimu, Raven" Keluhnya sambil terus-terusan membenamkan wajahnya.

Current time: 07:20.

Akuro menoleh ke arah jam tangan digital miliknya, pukul 07:20. Itu berarti 9 menit lagi, waktu untuk memulai kelas. "Haaaahh~ Bete, bete, bete, bete." Keluhnya sambil kembali membenamkan wajahnya. Eh-Tunggu, bukankah dia harus menyiapkan buku Latin, dan harus mengerjakan PR? Ah, tidak, tidak, pelajaran Latin baru dibuka, ding, tentu saja tidak ada PR yang perlu dikerjakan. Walaupun ada PR, Akuro pasti merasa bosan karena pekerjaan yang diberikan terlalu sedikit. Hmm..Kalau dipikir-pikir, tak ada salahnya sesekali bertegur sapa dengan murid perempuan, untuk meningkatkan social-meter.

Akuro berjalan ke arah Raven, yang semangat mudanya bergelora sekarang ini. Kalau Akuro? Semangatnya tersegel, tersegel jauh di dalam hati. "Eeemmmm..Raven, bukan?" Tanyanya kepada gadis itu, sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Eeeehh... Eeemm....Apa kabar?" Tanya Akuro, sambil mempercepat menggaruk belakang kepala, dan tersenyum garing. Uuum- Akuro-Kun, bukankah kata 'apa kabar' sudah terlalu jadul ataupun formal untuk diucapkan?

Well, sesekali mengucapkan kata itu tidak ada masalahnya juga, tak masalah, kan, berubah menjadi orang jadul?

Ih, tolong deh, mana sih semangat orang-orang ini?

Kalaupun ada yang menjawab, mungkin pemuda loyo di sebelah sana. Di negara asalnya, teman-teman sebayanya pasti akan membalas sapaannya dengan penuh energi, bagaikan para penonton setia yang selalu menyambut dirinya dan rekan-rekan bandnya tiap konser. Tetapi ia tidak sedang berada dalam situasi itu; ia kini berada dalam lingkungan yang berbeda. Teman dan suasana yang baru. Ia harus belajar beradaptasi, kan?


"Hem?" Atlasnya berputar, manik-manik sehitam jelaga itu memandangi sosok yang menyapa dirinya barusan. "Ohai, ganteng. Super oke, tadi sempet deg-degan sih gara-gara kukira telat. Kau sendiri, oke?"

Berbasa-basi sedikit, bukan masalah kan?

Quote :

"Ohai, ganteng. Super oke, tadi sempet deg-degan sih gara-gara kukira telat. Kau sendiri, oke?"

Hahahahaha.

Dia tidak pernah dikatai 'ganteng', 'keren', 'kece', ataupun yang lainnya. Dia malah dikatai 'pemalu', 'suram', 'payah', dan sindiran lainnya. Sungguh, dia adalah gadis pertama yang memujinya dengan pujian manis itu- Seumur hidupnya. "Hmm....Tidak cukup buruk. Aku... Cuma kaget, Raven yang dulu kuidolakan sekarang sedang berdiri di depanku, hahaha" Jawabnya sambil tertawa garing.

Current time: 07:23

Akuro menatap jam digital miliknya, pukul 07:23. 6 menit lagi, kelas Latin dimulai. Pelajaran yang paling disukainya, dan dipelajarinya dengan tekun, sewaktu dia masih SD. Walaupun di Jepang, butuh mantra berbahasa Latin untuk mempelajari sihir. Menelan ludahnya, kemudian memasukkan tangan kanan dan kirinya ke kantung celananya. "Hhhmm.... Kau bisa bahasa Latin?" Tanya Akuro, yang sudah tidak terlalu malu-malu lagi padanya, karena dia sudah mulai terbiasa.

Mungkin itu tanda-tanda bahwa social-meternya sudah naik, kan?

Eh-Rupanya harapannya terkabul, tapi yang masuk malahan murid cewek gaul begini. Si 'kakak ganteng' juga tanpa basa-basi menegur cewek itu, dasar. Bilangnya malu, tapi malahan nggak basa-basi di hadapan cewek Inggris begitu.

"Hai, Raven! Aku penggemarmu lho, sewaktu masih berumur 10 tahun, 5 tahun yang lalu..." Sapa Mimeko sambil bangkit dari duduk, kemudian mendekati mereka berdua. "Kuharap kita bisa berteman baik, walaupun kau lebih tua setahun" Ucap Mimeko. "Silakan ambil bangku kosong yang masih belum terisi dengan tas," Lanjut Mimeko seraya mengulurkan tangannya ke arah Raven.

Untung saja ada 1 murid cewek yang masuk ke dalam kelas, setidaknya itu bisa menghilangkan rasa sesak karena berduaan saja dengan Akuro.

Wow, bukankah Union Z begitu populer? Bahkan para penggemarnya pun ada juga di sekolah ini; itu keren kan?

"Ah, jangan begitu, aku kan jadi malu," gadis itu tertawa kecil sambil sedikit mengibaskan tangannya kemudian meletakkan tasnya di atas meja, mengindahkan ajakan gadis bersurai pink pastel di hadapannya. Heh, sok manis. "Lagipula, kedua orangtuaku bisa protes kalau aku terus-terusan manggung, see. Mereka menganggap ini adalah waktu yang tepat untuk cuti, dan kurasa nggak masalah soalnya jadwal konser sering padat. Jadi anak band capek, you know that?"

"—bisa bahasa Latin?"

Tenggorokannya terasa seperti tercekat.

"Kalau bahasa, kakakku lebih jago," sang bungsu Soloviev mulai menyandarkan dirinya pada kursi, menggaruk pipinya perlahan dengan ujung telunjuk. "Keahlianku adalah main gitar, ilmu sosial dan bungee jumping. Omong-omong soal kakakku—" atlasnya kembali berputar, menoleh ke arah kanan dan kiri sembari memindai seisi kelas dengan seksama, "—dia kemana ya."

"Heemm..Aku setuju denganmu, mungkin itu akan kuingat-ingat di otakku, kutempel seperti permen karet pink yang melekat di otak, hahahahaha" Canda Mimeko sembari tertawa kecil. Dia teringat akan saudaranya yang sibuk dengan naskah manga yang ingin dikirimkan ke editor. Adik Mimeko hendak menjadi mangaka, menggantikan Mimeko yang ingin menjadi seorang penulis.

"Eh, kakakmu juga sekolah di sini, ya? Hmmm.. Siapa namanya?" Tanya Mimeko sambil bergumam. Dia melirik ke arah Akuro, dan kembali melirik ke arah Raven. Ekspresi tertegunnya tadi... Itu apa? Sungguh-sungguh aneh, tapi mungkin cuma perasaannya saja. "Heeemm.. Kukira kau harus sedikit lebih sopan, Akuro, dan Raven, apakah kau akan libur dari dunia musik untuk selamanya?" Tanya Mimeko, sembari menengok ke arah jam tangannya.

Current time: 07:25

Nampak seorang gadis berambut coklat seleher berlari dengan nafas terenggah-enggah. Dia melirik jam arlojinya dengan pandangan kecewa, karena dia adalah anak yang tidak pernah terlambat, di sekolah normalnya. Dia jadi terlambat gara-gara adiknya, yang menyembunyikan sumpitnya, sehingga dia tak bisa makan. Adiknya juga menyembunyikan tas selempangnya di kolong ranjang, sehingga dia kebingungan mencari tasnya.

Langkahnya bertambah cepat ketika dia menengok jam arlojinya, pukul menunjukkan jam 07:26. Di sekolahnya, dia pasti bakal terlambat drastis, karena jam belajar mulai jam 07:20. Setelah melihat pintu berplat bertuliskan "Class Zero", dia tersenyum senang, menyapu keringatnya dengan lengan bajunya. Tapi, rasa takut mulai menghantuinya. Bagaimana kalau dia dihukum menggunakan magic handal? Hmm.. Dia menelan ludah, dan perlahan menggeser pintu tersebut.

Bunyi berdecit menggema di koridor, menyebabkan gendang telinga hampir pecah, dan membuat kesunyian terpecah. Sungguh- Apa sih, yang dilakukan tukang reparasi? Huumm.. Eh-Tapi, Minori Minoguchi-san, bukan saatnya memikirkan hal itu. Sekarang, dia harus bagaimana? Terpaksa, dia membuka pintu kelas dengan cepat, dan menutupnya kembali. Dilihatnya 3 orang, masih bersantai-santai di situ. 1 pemuda, 2 gadis. 1 pemuda dengan rambut coklat acak-acakan yang membuatnya makin tampan(#plak), 1 gadis dengan gaya rockstar, dan 1 gadis dengan rambut pink tergerai, nampak berbicara dengan serius tentang suatu hal, kepada gadis rockstar itu. Dengan takut-takut, dia mengangkat tangan kanannya sehingga setinggi bahunya, dan melambai-lambai, kemudian tersenyum kecil. "Eh...Ehehehehehe... Halo... Apakah ini sudah terlambat?" Tanyanya seraya mengambil bangku di tengah kelas, dan menaruh tas selempang merahnya di situ. Dia melirik ke arah pemuda berambut coklat acak-acakan itu, yang sedang berbincang-bincang dengan gadis rockstar satu itu. Kemudian, dia melirik ke arah gadis berambut pink itu. Dia menatapnya dengan kesal, dan dia rasa dia mengenalnya. Dia berjalan ke arah gadis itu, dan menepuk bahunya. "Siapa namamu?" Tanya Minori seraya tersenyum kecil.

"Kakakmu juga sekolah di sini, ya? Siapa namanya?"

"Kau tak tahu siapa kakakku?" tanya Raven tak percaya. Memang kakak-beradik Soloviev itu hanya menggunakan nama depan mereka sebagai nama panggung, tetapi tak sedikit orang yang mengetahui fakta bahwa mereka bersaudara. Jadi gadis bersurai merah jambu itu adalah penggemarnya saja—bukan seluruh Union Z, begitu? Boleh juga tuh, berarti pamor Raven nggak kalah dengan sang vokalis.

"Well, Wolfe si vokalis Union Z adalah kakakku. Dia yang membuat semua lagu kami, lho!" Sang bungsu Soloviev menyengir, mengangkat dua jarinya sembari tertawa kecil. "Kau nggak tahu kami bersaudara kandung?"

"—apakah kau akan libur dari dunia musik untuk selamanya?"

Menggelengkan kepalanya. "Tentu tidak. Manajer bisa memburu kami habis-habisan kalau sampai berhenti dari dunia musik; repot yah," desahnya sambil memangku dagu ovalnya. "Lagipula, impianku untuk tur keliling dunia masih belum kesampaian."

Suara decitan pintu oak di sebelah sana berhasil menarik perhatian sang gadis bersurai malam, kurva kembarnya tersungging tipis sebelum menyapa sosok yang muncul dari baliknya. "Tenang saja, gurunya belum dateng, kok. G'Morning!"

"Eh? Iya, selamat pagi juga, di Jepang kami menyebutnya 'Konnichiwa', hahaha. Jangan dipikirkan." Balas Minori seraya membuka tasnya, dan mengeluarkan buku- Sebuah buku tebal, bersampul coklat dan agak usang, bertuliskan "Latin's Dictionary". "Ahahahaha... Aku membeli buku ini, karena aku belum bisa bahasa Latin, dan kau tahu itu. Oh- Dan kau keturunan Barat, berarti kau bisa berbahasa Latin, walaupun tidak sebaik yang kukira." Jelas Minori panjang lebar, sepertinya di telinga orang, dia berkata 'Ahahahaha...Aku membeli buku ini, karena bla bla bla...'

Current time: 07:28

"Oooohhhh!! Gawat!! Ito-Senpai yang mengajar Latin hari ini!!" Teriak Minori panik, sembari melirik jam arloji peraknya. "Uuumm... Bahasa Latin 'aku sungguh panik' apa ya? Eeerrmmm.." Ucap Minori panik, sambil membuka-buka buku kamusnya. "Eeermm.. Ah! 'ego vastis trepidatum' ! Haha!" Teriak Minori bangga, sambil menutup bukunya. "Hmmm... Hati-hati, lho, jika kau membuat marah Ito-Senpai. Mendadak dia akan menjadi yandere, dan akan membunuh kita, walaupun kedengarannya tidak seburuk itu." Ucap Minori sambil berbisik.

"Ah, maaf, kebiasaan," Raven kembali menyandarkan diri pada bangkunya, sedikit menggaruk kepalanya sambil tertawa garing. "Ini masih pagi, kan? Ohayo."

Gadis bersurai sehitam malam itu mendengarkan ocehan teman sekelasnya yang baru datang, memutar obsidiannya sembari merapatkan kurvanya. Tidak sebaik yang dia kira, hem? Atas dasar apa ia berani menilai seorang putri bungsu Soloviev yang bahkan ia tak tahu seperti apa di dalamnya? Lihat saja—sang gitaris muda ini akan menunjukkan bahwa ia masih lebih baik dari apa yang diharapkan gadis di hadapannya itu.

Dasar nggak mau kalah.

"Non minoris aestimo me, puella*," gumamnya dengan seringai spontan. "Dan kau belum mendengar betapa kerennya Wolfe kalau sudah berbicara bahasa Latin."

*) Jangan remehkan aku

"Eh...Ahahahaha, iya, lagipula aku bukan orang Jepang sepenuhnya, malah sepertinya kau lebih ahli dariku. Aku cuma 3/5 orang Jepang..Dan mengganti nama sewaktu tiba di Jepang." Jelasnya sambil menggaruk belakang kepalanya. "Eh? Kakakmu itu keren, ketika mengucapkan bahasa Latin? Wow, kurasa itu memang benar, tapi belum tentu dia keren, bukan? Dia tampak keren di mata orang hanya karena dia vokalis," Ucap Minori seraya menggulung ujung rambutnya dengan jari telunjuk.

"Dan kau tak akan tahu betapa kerennya sepupuku ketika berbahasa Prancis" Ucap Minori tak mau kalah, sambil berbicara dengan nada angkuh. "Lalu, apakah kau tahu arti Non similis illi¹ ? Jika kau tahu, berarti kau lebih hebat dariku, rendahan" Ejeknya sambil bertanya secara angkuh.

OOT:

1: Aku tidak suka dia

Nggak apa-apa kan, kalau bahasanya ada yang keras ^^'

Oh ya ampun, dasar cewek sialan. Mereka tidak diajari sopan santun, ya? Gosh, coba kalau Wolfe di sini, ia pasti tidak akan tinggal diam jika adiknya dibeginikan.

"Dengar ya, rendahan," gadis bermata obsidian itu mengenggam kerah seragam Minori sembari menempelkan telunjuknya ke dada kirinya. "Sekali lagi kudengar hal itu lagi keluar dari mulut busuk-mu, aku nggak akan segan-segan membuatmu tak bisa lagi menggunakan indramu untuk mendengar. Kau nggak menyukaiku? Bagus. Aku menyukaimu, begitu menyukaimu sampai aku ingin muntah."

Ini nih, yang mereka bilang membangunkan macan tidur.

Raven mendorong gadis itu sambil melepaskan genggamannya, kemudian menepuk tangannya dan kembali ke bangkunya. Masih menatap Minori sinis, tatapan yang hanya diberikan sang gitaris muda ketika ia begitu kesal akan perilaku seseorang. Serius, baru kali ini ia merasa kesal sampai rasanya ia ingin memecahkan gendang pendengar gadis itu.

---

Harusnya itu nggak didenger sama Minori, tapi ya sudahlah udah terlanjur.

Ya ampun, dasar cewek rocker. Seenaknya saja menginjak-injak harga dirinya, di depan orang lain.

"Eh, denger lho ya, lain kali aku bakal menghancurkanmu, cewek sialan" Ucap Minori sambil mengepalkan tinju, kemudian berjalan menuju si 'cewek busuk' dan meninjunya. Enak saja, dia-lah yang bermulut busuk. "Pergilah ke neraka, gadis busuk!"

Melangkah menuju mejanya, kemudian menatap sinis Raven. "Heh, dasar cewek busuk, lain kali kusetrum saja dia pakai listrik," Keluh Minori dengan ketus. Baru kali ini dia bertengkar dengan murid cewek- Apalagi dengan murid cewek yang masih newbie di kelas. "Dengar, Raven, lain kali aku bakal menyetrummu dan kakakmu sampai gosong" Pikirnya sambil meninju mejanya. Menoleh ke arah Akuro yang masih mematung, dan mengacuhkannya.

^ Maaf, sepertinya ada godmodding di sana. Belum tentu Akuro mematung; deskripsi itu seolah-olah Anda 'menentukan' tindakan yang akan Akuro lakukan.

Omong-omong, maaf kalau kata-kata si Raven rada kasar, bawaannya sebagai anggota band bergenre Rock sih. Isi kertasnya itu gini: "Shut your f*cking mouth up, you short-haired freak!"
Jadi berapi-api gitu si dianya. =))

---

Raven tidak pernah mengerti orang-orang macam itu. Bukankah mereka yang mulai duluan? Lalu kenapa sekarang mereka justru berbalik menyalahkan sang bungsu Soloviev? Seakan-akan mereka lepas tanggung jawab atas kata-katanya, dan gitaris muda ini begitu benci dengan pikiran plin-plan macam itu. Ababil, heh, dasar anak muda.

Bukannya kau sendiri juga sama ababilnya?

Gadis bersurai hitam itu mengeluarkan isi tasnya: buku catatan, kotak pensil magenta dan buku diktat setebal satu inci yang dihiasi dengan stiker bergambar beruang. Tipografi ukuran besar bertuliskan You rock, Girl! berwarna ungu tercantum di lembar pertama buku tebal itu plus beberapa coretan lain berbahasa Latin dan Inggris. Ia mengambil spidol kecil bertinta marun dari kotak pensilnya dan menulis sesuatu di sobekan kertas, kemudian melemparkannya ke arah Minori sembari mengangkat jari tengahnya.

Anak baik, tolong jangan tiru ini ya.

^ Maaf kalau saya godmod yah, soalnya kesannya kayak mematung gitu, hahaha.


Heh, apa-apaan anak itu, main lempar saja ke meja orang, terus main acung-acungan jari lagi, huh, andaikan ada sepupunya, sepupunya pasti ceplas ceplos bicara memakai bahasa Perancis. Dasar anak rock jaman sekarang. Dia sebenarnya tak mengacuhkan reaksi gadis itu terhadapnya, tapi, ketika dibacanya kertas itu...

HUH! Saking kesalnya, dia ingin melumat kertas itu, dan menyuruh gadis itu menelannya, sehingga tak bisa bicara sembarangan lagi. Minori memegang kertas itu, kemudian merobeknya, dan melempar si kertas malang ke arah gadis sialan itu. Memang benar, dia yang memicu amarah gadis itu, tetapi bukankah gadis itu yang salah, terlalu berlebihan?

Ternyata, berteman dengan teman rockstar tidak smudah itu.

Noha-sama: Yah, karena yang bersangkutan juga tidak dirugikan sih jadi ya sudahlah. Harap untuk tidak diulangi lagi.

---

Hei, wajar 'kan kalau kita marah saat diri kita dan anggota keluarga kita dianggap rendahan? Lancang sekali berbicara begitu terhadap anak gadis aristokrat Kremlin yang terlahir dengan darah seorang bangsawan? Raven memang tak begitu mempermasalahkan hal itu, tapi hello, rude much? Kalau di Inggris, mungkin para bodyguard Union Z akan memberikan pelajaran yang setimpal bagi gadis yang tak bisa menahan kata-katanya. Mau Raven kan untuk berteman—namun yang terjadi malah sebaliknya. Ini sih seperti mengibarkan bendera perang.

Perhatian teralihkan pada entitas yang baru saja memasuki ruang kelas, sosok berambut kecoklatan yang begitu dikenalnya. Kakak kandungnya, Wolfe Soloviev, berhasil tiba sebelum pelajaran dimulai. Raven sangat tahu bahwa kakaknya itu pasti berusaha keras untuk tidak terlambat, apalagi pada salah satu kelas kesukaannya. Inginnya memasang ekspresi senang, apa daya syaraf wajah masih terbawa emosi soal tadi itu.

"—tumben pagi-pagi pasang muka sewot. Ada apa?"

Mendengus kesal. "Tanya sendiri tuh yang duduk di sebelah sana, males ceritanya; nanti aku tambah bete."

Hahahahaha.

Minori hanya memasang muka tersenyum sinis, begitu melihat sesosok pemuda jangkung berambut coklat muda masuk ke dalam kelas. Ayo, kalau berani melawan, sini aja, sama aku aja. Ingat kan, sifat Minori? Mudah naik darah, dan ngomong tanpa pikir panjang, kemudian jujur dalam menyatakan pendapatnya. Kurasa itu mengena dengan sifat Minori.

"Hahahaha, jika aku kena tegur sama guru, gurunya bakal kulawan, kepala sekolah sekalipun" Pikirnya tanpa rasa takut sekalipun. Heh, melihat wajah bodoh gadis itu selalu saja memicu emosinya. Dia berjalan menuju si murid baru, kakak kandung Raven si bodoh, Wolfe Soloviev. "Hmmm.... Jadi ini kakaknya Raven?" Tanya Minori dengan nada angkuh, sambil menatap dengan tatapan merendahkan ke arah Raven. "Kau dipuji oleh Raven, bahwa kau keren ketika kau berbahasa Latin" Sindir Minori seraya menatap angkuh ke arah Raven, kemudian memasang senyum sinis sedemikian rupa, supaya tidak diketahui oleh si Wolfe yang disebut-sebut itu.

Setidaknya, memberikan sedikit 'servis' akan berguna untuk si Raven, kan? Andaikan saja kakaknya tidak ada waktu itu, dia pasti akan menghancurkan Raven hingga gosong sampai-sampai yang tersisa cuma puing hitam, dengan listrik bertegangan tinggi miliknya.

Pppffttt... Apakah keluarga Soloviev itu keluarga bangsawan yang selalu menyalahkan orang lain? Konyol.


Tertawa jahat.

"Hei, dengar, ya, aku mencoba untuk bersopan-sopan kepada adikmu, tapi adik rewel-mu itu tidak mau mendengarkan. Tanya saja saksi mata jika kau mau bukti, busuk," Bantah Minori sambil menatap garang ke Raven. "Dan jika kau menggunakan kemampuanmu kepadaku, oke, kurasa itu tak masalah, asalkan aku bisa melihatmu dan adikmu dalam keadaan gosong. Ingat itu" Lanjutnya sembari berjalan menuju bangkunya, kemudian duduk. "Apa salahku... Sampai melibatkan masalah besar seperti ini? Padahal aku tidak menganggunya, aku cuma jujur menyatakan pendapatku, setidaknya bersabar sedikit, bodoh." Gumamnya seraya menggaruk-garuk kepalanya.

Rasanya dia ingin membentak kedua Soloviev itu habis-habisan, kemudian menyetrumnya. Heh, dia tak habis pikir. "...Apakah aku ini orang yang kasar? Sampai-sampai semua orang membenciku? Sialan!" Keluhnya sambil berjalan menuju Raven, kemudian menunjuk meja Raven dengan telunjuknya. "Hei, mati saja kau, dasar apel busuk!" Bentaknya sambil menatap marah Raven.

Setidaknya, sikap 'greget' dari dalam diri Minori ini harus dihilangkan. Tapi, cukup baik jika membiarkan sikap itu tetap berada di dalam diri Minori.

OOT: Giliran Hitsuke Maaf, ngontrol 2 karakter dalam 1 post. Soalnya kalau do-post berkali-kali karena mengontrol karakter kan gak enak ^^"

Berlari-lari sambil menyetop bibi penjaga gerbang yang hampir menutup gerbang. "Tunggu! Jangan ditutup dulu!" Teriak Hitsuke sambil berlari makin cepat. Langkah kakinya melambat ketika sampai di koridor sekolah. Memperbaiki posisi tali ransel hitam-nya, kemudian membuka pintu oak raksasa berplat, yang bertuliskan "Class Zero".

Melihat pemandangan sekeliling, tidak terlambat. Dia segera mengambil bangku di belakang pemuda berambut coklat itu, setelah itu menaruh ranselnya di kursi. Menghela nafas panjang, kemudian menatap perempuan yang sedang membentak gadis gitaris dari band bernama Union Z itu. Eh- Tunggu. Itu kan.. Minori, sepupunya? Dia melangkah mendekat, menuju gadis itu. Menepuk bahu gadis itu dengan pelan, kemudian memasang raut wajah heran.

"Hei, ada apa?" Tanyanya sembari menatap sepupunya itu dengan heran. "Ini, lho, kak Hitsu, gadis ini tidak sopan!" Tuduhnya sambil menunjuk ke arah gitaris dari Union Z itu. Wait- Apa salahnya? "Sudahlah, berhenti bertengkar dan duduk di bangkumu!" Perintahnya. Minori mengangguk kesal, setelah itu duduk dibangkunya sambil ngambek. Hitsuke lalu berjalan ke arah bangku vokalis band Union Z. "Hmm.. Kau Wolfe Soloviev, sang vokalis Union Z, kan? Apakah adik sepupuku bertingkah keterlaluan?" Tanya Hitsuke penasaran.