"Jadi, boleh aku bertanya kenapa kakakku menyuruhku untuk jalan denganmu?"
Mala menyipitkan mata, memandang Michaello dengan tatapan menuduh.
Michaello tersenyum miring, kemudian memandang Mala dari atas ke bawah. "Tapi kau tetap dandan semaksimal mungkin, hmm."
"Berisik," tukas Mala cepat dengan nada cuek. "Jadi, bisa menjawab? Kalau kau jawab mungkin aku mau masuk ke dalam mobilmu."
Tidak salah. Melalui beberapa cara yang penuh intrik, Michaello berhasil mengambil hati Liam agar memperbolehkannya jalan-jalan dengan Mala. Tapi, tentu saja, Michaello takkan pernah memberitahu itu. Sama saja menggali kuburan sendiri.
"Mh, bagaimana ya." Michaello bergumam, pura-pura bingung sambil melihat ke arah lain. "Yah. Kau akan kuberitahu nanti. Pokoknya, ikut saja jalan-jalan denganku dulu. Tidak—dalam beberapa aspek kau tidak akan dirugikan. Oke?" timpalnya cepat saat ia melihat Mala ingin menyangkal.
"Atau—barangkali kau ingin kutinggal disini?"
Mala tercenung bimbang. Mereka berdua sedang berada di pusat kota, Mala berdiri di trotoar sedang Michaello di dalam mobilnya berusaha meyakinkan Mala—dan Mala tidak yakin ia bisa jalan sepanjang 3 kilometer ke rumahnya.
"..."
Mala melangkah masuk ke kursi penumpang, dan wajah Michaello menjadi sedikit cerah.
"Aku ikut bukannya karena ingin menyenangkanmu," ucap Mala seolah bisa membaca pikiran Michaello.
"Aku tahu. Bisa kita berangkat sekarang?"
"Hm, ya."