| | Code: Asylum The Story | |
| | Author | Message |
---|
Shuusuke Akai Special Admin


Jumlah posting : 93 Join date : 2013-08-16
 | Subject: Code: Asylum The Story Mon Aug 19, 2013 5:25 pm | |
| Disclaimer Story (c) Shuusuke Akai / Sei
Cerita ini hanyalah fiksi belaka yang mengambil setting di Alternate Universe. Semoga saja bencana dalam kisah di bawah tidak benar-benar terjadi. ---------- Chapter 1 The Cold Beginning London, bulan Juli tahun 2050.
Mentari tak kunjung menampakkan senyumnya padaku, walau kutahu sekali bahwa hal itu tidak mungkin terjadi di tengah keadaan seperti ini. Aku seharusnya tahu ketika melihat pusaran tebal di seberang horizon bahwa badai akan datang melanda kami semua. Kami. Semua. Seluruh penduduk London dan mungkin sekitarnya juga. Aku tidak menyangka bahwa musim dingin akan datang begitu cepat, jauh lebih cepat daripada biasanya.
Aku takut. Tetapi--
"Will! Bawakan aku sebotol bir lagi--hik!"
Sosok berambut putih keperakan itu meletakkan penanya dan berdiri dari meja belajarnya, kemudian bergerak menuju suara yang memanggil namanya barusan dengan nada panik. "Dad, engkau memanggilku?"
"Kau tuli ya? Kau tidak dengar apa yang kukatakan barusan, hah?!" bentak sang ayah setengah mabuk. "Kuminta kau untuk membawakanku sebotol bir. B-I-R. Udara dingin membuatku malas untuk bergerak, kau tahu? Oh, satu lagi. Bawakan aku selimut dari kamar!"
William Whiteheart, pemuda malang yang dibentak begitu saja oleh ayahnya itu, hanya mengangguk pelan sambil berjalan lemas menuju kabinet di sudut dapur tempat keluarganya biasa meletakkan persediaan bir musim dingin. Sejak ibunya meninggal, ia selalu dijadikan pesuruh ayahnya yang pemabuk; mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti bersih-bersih dan masak untuk menggantikan posisi sang ibu. Terkadang ia berpikir bahwa dirinya tak sanggup lagi bertahan tinggal dengan laki-laki tua itu, bahwa dirinya ingin hidup mandiri, tetapi ia tetap saja tidak tega bila harus meninggalkan sang ayah sendirian. Alhasil, ia hanya bisa menuangkan isi hatinya ke dalam buku diari usang kesayangannya.
Seandainya jika benda-benda ini bisa datang sendiri tiap kupanggil, kurasa aku tidak akan perlu repot-repot lagi...
Bagaikan impian yang terwujud dengan sebuah Alakazam, botol bir yang seharusnya akan diambilnya pun melayang dari raknya, terbang perlahan dan mendarat di telapak tangan kanannya. Tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya, ia menggelengkan kepalanya kuat dan membawakan botol itu kepada ayahnya.
"Pwah! Apa-apaan ini?" sembur laki-laki itu seraya mengelap cairan yang tumpah dari mulutnya. "Nggak enak! Sama sekali nggak enak! Ini bukan bir! Kau mau meracuniku?"
"Tunggu, Dad, aku nggak tahu--"
"Dasar bo-doh!" Dilemparnya botol itu ke arah meja di sampingnya hingga pecah, mengagetkan Will setengah mati. "Aku benci mengulang dan mengulang dan mengulang, jangan coba-coba membohongiku! Aku tahu kau muak dengan semua ini sampai-sampai mencoba meracuniku, iya kan? Ha! Aku tahu semua itu! Dasar anak setan! Ternyata bukan cuma rambut dan badanmu yang aneh--isi otakmu juga! Sini, akan kuberikan kau sebuah pelajaran berharga yang akan terus kau ingat sampai mati!"
Saat sang ayah menghampiri Will sambil memegang pecahan botol di tangannya, sebuah vas bunga melayang dengan kecepatan tinggi dan menghantam kepala laki-laki tua itu, membuatnya meringis kesakitan. "K-Kau, apa yang telah kau lakukan?!"
"A-Aku tidak tahu, Dad, benda itu terbang begitu saja!"
Tidak puas dengan jawaban sang anak, laki-laki itu berlari ke arah William yang terlihat begitu ketakutan dan berusaha untuk menusuknya dengan ujung pecahan botol, namun lagi-lagi usaha itu sia-sia. Kali ini, sofa keluarga tempat laki-laki itu bersantai sebelumnya menjadi tameng bagi Will sekaligus menindih si ayah dengan bunyi 'buk' yang keras.
Mungkin, karena tekanan dari sofa itu, sang ayah tak lagi bergeming. Kemudian setelah darah bercucuran dari tubuh beliau Will tahu bahwa bukanlah tekanan saja yang mencabut nyawa ayahnya--pecahan botol bir yang tajam berikut bobot dari sofa itu yang melakukannya. Semacam mati konyol. Will tidak ingin berkata begitu, jadi sekarang yang dilakukannya adalah menyalahkan dirinya sendiri atas itu.
"Dad? Dad?! Engkau tidak apa-apa? Bangunlah!" serunya mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya setelah menyingkirkan sofa itu sekuat tenaga. "Ayolah, katakan padaku kalau kau masih hidup! Dad!"
Percuma, bagaimanapun usahanya untuk membangunkan ayahnya, beliau tidak akan membuka mata lagi. Berupaya untuk menelpon ambulans namun tak kunjung terhubung. Walaupun beliau begitu keras padanya, beliau tetap saja ayahnya. Kalau begitu, kini ia sendirian, bukan? Tidak punya siapa-siapa lagi selain dirinya sendiri. Dengan emosi berkecamuk di dalam kepalanya, pandangannya pun menjadi gelap.
Tanpa dirinya sadari, segalanya pun menjadi berantakan. Hancur bagaikan kapal menabrak karang, hanya dirinya dan jasad ayahnya yang tersisa di tengah puing-puing bangunan, menjadi tempat pendaratan salju-salju putih sedingin hati Willi saat ini. Dan ketika Will telah menyiapkan hati untuk turut pergi ke alam sana dengan menjadi beku bersamaan dengan puing-puing itu, sesosok berjubah biru pun menghampirinya sambil berbicara di teleponnya.
"Di sini Vryscovich. Aku baru saja menemukan suatu hal yang menarik." To be Continued Author's Note:Well, yeah, semacam cerita tentang Subject #1 dari RPG Code: Asylum. Chapter 2 mungkin akan keluar minggu depan. Saya akan sangat senang dan berterimakasih jika kalian mau memberikan komentar atas fiksi geje saya ini XD | |
|  | | Shuusuke Akai Special Admin


Jumlah posting : 93 Join date : 2013-08-16
 | Subject: Re: Code: Asylum The Story Sun Aug 25, 2013 7:11 pm | |
| Chapter 2 Entering The White Asylum Dan setelah kegelapan mendadak menyerang, segalanya berubah menjadi putih semurni salju.
Apakah ini surga? Tidak, tidak mungkin, karena aku telah melakukan sebuah dosa besar—membunuh Dad dengan tanganku sendiri. Benda-benda yang melayang itu adalah ulahku, aku tahu itu. Mereka bergerak atas kehendakku. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukan itu, dan aku benar-benar tidak percaya bahwa hal itu bisa terjadi, tetapi kenyataan yang membuktikan bahwa pikiranku-lah yang mampu mengendalikan mereka semua. Kejadian yang disaksikan oleh kedua mataku sendiri membuatku mau tak mau harus percaya bahwa semua itu adalah nyata.
Saat itu, aku hanya ingin melindungi diriku sendiri dari Dad yang akan menghantamku dengan ujung botol pecah. Aku sangat tahu bahwa itu adalah pikiran yang egois, bahwa sebaiknya aku menghindar saja daripada diam tak bergeming. Aku telah mengakhiri nyawa Dad dengan kemampuan yang muncul secara tiba-tiba itu. Aku tidak pantas berada di surga. Tapi jika tempat ini bukanlah surga, apakah ini adalah neraka?
"...ei."
Siapa?
"...hei."
Ibu? Kaukah itu?
"...sadar juga kau," ujar sesosok wanita berambut krem panjang sambil menyeruput secangkir susu coklat panas. Pandangannya tetap tertuju pada cangkir susunya, tanpa sedikitpun mengalihkannya ke arah pemuda yang sedang berbaring di sebelahnya. "Bagaimana? Mimpi indah?"
Pemuda itu, tanpa basa-basi langsung bangkit dari ranjang tempatnya tertidur tadi, lalu melihat keadaan sekitarnya yang sama sekali berbeda dari situasi sebelum ia jatuh pingsan. Ruangan serba putih berukuran sekitar 4x4 meter tanpa ada jendela dan hanya sebuah pintu berlapis baja yang menjadi satu-satunya jalan keluar dari tempat itu; sebuah ruangan tertutup yang sederhana dan misterius. Selang oksigen menggantung di dadanya, cairan infus masuk melalui punggung tangan kirinya. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana ia bisa berada di tempat itu, terutama siapakah wanita berambut panjang yang kini sedang menikmati minuman panas di sisinya, sehingga hal yang segera terlintas dalam benaknya adalah: bertanya.
"Ini dimana? Apa yang telah terjadi? Kau sia—aduh!" kemudian memegang kepalanya refleks sembari menopang bobot badannya di pinggiran ranjang dengan alis berkedut. Suatu hal yang wajar ketika seseorang memaksakan dirinya untuk langsung bangkit dari tempat tidur dan tentu kepalanya akan menjadi pusing secara tiba-tiba. Apalagi jika telah tertidur jauh lebih lama daripada batas wajarnya; sudah pasti kepalanya menjadi benar-benar sakit.
"Jangan bertindak bo-doh. Kau seharusnya bersyukur aku bisa menemukanmu di tengah badai macam itu, bocah. Kalau tidak, mungkin kau sudah terbujur kaku di luar sana dan membeku," wanita itu meletakkan cangkir susunya yang telah kosong di atas meja lalu melepaskan jaket bulu kehitaman miliknya. "Kau telah tertidur selama tiga minggu, dan selama itu pula terjadi berbagai macam hal yang, yah, bisa dikatakan di luar akal sehat. Tapi menurutku semua ini menarik, terutama ketika kutahu kemampuan yang kau miliki. Beruntunglah kau telah memperoleh perhatianku, Nomor Satu."
"Tunggu, tunggu dulu! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan. Tiga minggu? Jangan bercanda! Mana mungkin aku bisa tidur selama itu!" seru si pemuda dengan nada penuh emosi. "Lagipula, namaku adalah Will! William Whiteheart! Jangan seenaknya memanggilku dengan sebutan-sebutan aneh! Dan bagaimana bisa kau tahu tentang kemampuanku?"
Sang wanita hanya tersenyum kecil sembari bangkit dari tempat duduknya, kemudian bagaikan kilat yang menyambar, air mukanya segera berubah serius dan menodongkan pistol tangan berwarna hitam mengkilap ke arah dahi Will dalam hitungan detik. "Bisakah kau diam? Sudah bagus aku tidak menyerahkanmu begitu saja kepada pihak peneliti dan tetap menahanmu dalam kompartemen pasien," ujar wanita itu menatap kedua bola mata hazel Will lekat-lekat dengan serius. "Bocah tetaplah bocah. Aku benci menjelaskan semuanya padamu karena itu akan sangat, sangat merepotkan, jadi biarkan kukatakan dengan singkat: kau adalah manusia super yang mendapatkan kemampuan supernatural secara tiba-tiba dan poof! Dicap berbahaya oleh pemerintah dunia. Cerita selesai, dan semua berakhir tidak bahagia. Sad end."
"Apa? Penjelasan macam apa itu? Berbahaya? Ini tidak—"
"Kau yang meluluhlantakkan rumahmu dan membunuh ayahmu sendiri. Itulah kenapa Dewan Ward Tiga Belas memintaku untuk membawamu kemari segera setelah aku menemukanmu terkapar setengah hidup di tengah puing-puing bangunan," lanjut wanita berambut krem itu selagi menempelkan telunjuknya ke dada Will. "Mereka menganggap kemampuanmu mengerikan. Kau hampir saja dijadikan ajang percobaan oleh para ilmuwan yang didatangkan dari Amerika sana. Oh, bukan masalah jika mereka melakukan percobaan atas para Subject lainnya, tapi tidak untukmu. Kau adalah mainanku, milikku seorang, dan tak kuijinkan seorangpun untuk menyentuhmu—bahkan Warden lain dan pihak pemerintah sekalipun."
Will hanya bisa terdiam tanpa tahu harus merespon apa. Iris hazelnya menelusuri selang infus yang menancap di punggung tangannya, kelopak matanya semakin menyipit ketika pandangannya mulai mencapai botol cairan infus itu. Pikirannya berkecamuk, tak lagi mampu menyerap kata-kata wanita bersurai krem itu dengan terbuka. Ini tidak adil. Dirinya sebagai ajang percobaan? Yang benar saja. Seburukkah situasi di luar sana sehingga orang-orang mulai kehilangan rasa manusiawinya? Seandainya ini masih mimpi, rasanya Will harus benar-benar terbangun dan kembali menginjakkan kaki pada kenyataan. Alas, inilah kenyataan yang sebenarnya.
"Elisa Vryscovich."
"...eh?"
"Jangan 'eh?', bocah. Elisa Vryscovich, itu namaku. Setidaknya kau harus tahu nama orang yang akan menjadi pengawasmu untuk kedepannya, kan?" Si wanita berambut krem membalikkan badannya dan melangkah menuju satu-satunya pintu dalam kompartemen tertutup itu. "Akan kutunjukkan padamu bahwa semua kata-kataku benar, dan bahwa dunia ini tidak lagi 'normal'." To be Continued Author's Note:Chapter 2's out, dengan timeline 3 minggu berlalu sejak Chapter 1. Yap, Elisa Vryscovich adalah orang yang menemukan Subject pertama dan memutuskan untuk mengawasinya. Sebenarnya sih, daripada mengawasi, ia bisa dikatakan 'menjaga' Will dari menjadi objek percobaan ilmuwan. Elisa nggak peduli apa yang terjadi dengan Subject lainnya selama Will tetap aman XD Siapa yang tahu wanita berhati es itu punya sisi hangat? Chapter 3 mungkin akan keluar dalam waktu dekat, tergantung seberapa cepat saya bisa kembali dari Writer's Block yang sedang menyerang OTL Saya akan sangat senang dan berterimakasih jika kalian mau memberikan komentar atas fiksi ini <3 | |
|  | | Scarlet
Webmaster Away Webmaster


Member Title : WB, WB everywhere~ Jumlah posting : 563 Join date : 2013-04-05
 | |  | | Shuusuke Akai Special Admin


Jumlah posting : 93 Join date : 2013-08-16
 | Subject: Re: Code: Asylum The Story Wed Oct 16, 2013 11:58 am | |
| Chapter 3 The Other Side "Mati aja sono, dasar bego!"
Dengan itu dan sebuah tendangan ke daerah privat, maka ini adalah kali kelima gadis berambut hitam sedada itu mengucapkan hal yang sama kepada lima orang yang berbeda.
Rosetta Genevieve Ellenoire, atau lebih familiar dengan julukan Rose Si Bara Api oleh rekan-rekan satu bloknya, mungkin adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak ingin kau temui, bertatap muka, atau apapun yang memaksamu berada dalam situasi dekat dengannya. Ia cukup temperamental, terutama bila ada yang membahas soal kakak perempuannya, dan cenderung mengamuk. Kalau sudah begitu, sebaiknya jaga jarak darinya atau kau akan dijadikan steak daging manusia—well, nggak separah itu juga sih.
Begini, kakak perempuannya adalah seorang Warden—iya Warden sungguhan—dan ia benci bagaimana dirinya harus menjadi kelinci percobaan pemerintah di bawah pengawasan kakak kandungnya sendiri. Ia benci bagaimana orang lain mencoba membanding-bandingkan sang kakak yang masih 'normal' dengan dirinya yang 'abnormal'. Ia membenci dirinya sendiri, kenapa harus dia yang mendapatkan kekuatan itu dan bukan sang kakak. Bagaimanapun juga, kemampuan yang diperolehnya kan bukan semata-mata datang karena keinginannya sendiri. Ia tidak pernah merasa bersyukur atas hal ini kok.
"Berantem lagi?" celetuk gadis lain berambut pirang dari dalam bilik penahanan sambil menutup buku bacaannya.
"Kau tahu jawabannya, Pam. Berhentilah menanyakan hal retorikal macam itu."
Gadis berambut pirang itu tersenyum simpul, kemudian bangkit dari tempatnya duduk barusan. "Easy girl, easy. Kurasa kau butuh sedikit pengalih perhatian. Kau tahu, menghilangkan stres."
"Itu sih namanya bukan pengalih perhatian," Rose menghela nafas, kemudian kembali masuk ke bilik penahanan lalu menutup pintunya, "dan mendengar itu sama sekali tidak mempan untuk mengusir stres. Lama-lama kau jadi sama menyebalkannya seperti orang-orang itu."
Pamela Dee mengangkat sebelah alisnya. "Oh, excuse me? Seharusnya kata-kata itu kukembalikan padamu, Rose. Mendengarmu meneriakkan kalimat yang sama berkali-kali hari ini menurutku sudah cukup menyebalkan." Ia menyibakkan rambutnya perlahan sambil memutar matanya. "Jujur, aku tak pernah paham hubunganmu dengan kakakmu. Bukannya ia bersikap lebih baik kepadamu dibandingkan yang lainnya? Kenapa kau harus membencinya?"
"Itu topeng. Jangan tertipu sama wajahnya yang imut dan tingkahnya yang sok malaikat," balas Rose sambil melemparkan dirinya ke atas kasur. "Tolong deh, untuk sementara ini jangan bicarakan soal kakakku di depanku. Memikirkannya saja sudah membuat isi perutku bergejolak."
"Terserah, lagipula kalau kau mengamuk di sini kan nanti aku juga yang kena imbasnya," ujar Pam meletakkan bukunya ke dalam laci penyimpanan. "Terus? Apa yang akan kau lakukan?"
Rose menutupi wajahnya dengan bantal. "Entahlah, aku tak tahu. Terlalu banyak yang terjadi dalam waktu dekat sampai-sampai aku pusing," desahnya lirih. "Seandainya segalanya bisa kembali seperti dulu—"
BLARRR!
"Wow, wow, wow, apa-apaan itu?" seru gadis bermata hijau itu terkaget-kaget sembari bangkit dan menyingkirkan bantal dari atas wajahnya, tak menyadari kepalanya terlalu tinggi untuk tidak menghantam tepi kasur atas. Terdengar suara 'buk' yang cukup keras, disertai dengan rintihan spontan. "Oh sh*t. Semoga nggak amnesia mendadak aja deh."
"Kau nggak apa-apa?" ujar Pam panik. "Dahimu memar begitu!"
"Jangan pedulikan aku, Pam, aku baik-baik aja," balas Rose dengan senyum memaksa. "Yang lebih penting adalah: dari mana asal suara ledakan itu? Ada juga ya yang nekat bikin kacau di tengah-tengah suasana macam ini."
"...kau termasuk salah satunya, kan?" Gadis bersurai kepirangan itu hampir menyemburkan kata-kata berbahaya itu di depan rekan sekamarnya, sayangnya diurungkan sebelum mood temannya itu kembali jelek. "Anyway, kau mau lihat-lihat?"
Belum sempat Rose memberikan jawaban, sesosok berseragam kelabu melintas di depan bilik penahanan tempat dirinya dan teman pirangnya itu tinggal. Rambut sosok itu hitam sedikit ikal, zamrudnya yang tampak berkaca-kaca persis seperti yang melekat di wajah si gadis api. Raut wajahnya terlihat kalem, terlepas dari kepanikan saat mendengar suara ledakan seperti itu. Seandainya pun ia tak menampakkan diri, Rose tetap tahu bahwa sosok itu adalah kakak kandungnya.
Pam menempelkan dahinya pada jendela kecil di pintu besi, iris hazelnya mengikuti gerakan sosok yang baru melintas itu. "Rose, itu kakakmu kan?" ujarnya dengan nada sarkastik. "Kau tak mau menyapanya sebentar?"
"Diam kau," balas Rosetta ketus. "Aku jadi males ngapa-ngapain kalau ada dia."
"Lalu, kau mau bagaimana?"
Rose diam sejenak, jarinya memuntir ujung rambut lurusnya sambil mengerutkan dahi.
"...kau mau menemaniku ke blok sebelah? Aku mau bertemu dengan seseorang."
Pam kembali mengangkat alisnya. "Siapa?"
"Subject Nomor Satu." To be Continued Author's Note:Akhirnya Chapter 3 kelar juga setelah sekian lama saya menghilang dari peredaran ya ahahah /plak/ Chapter ini mengisahkan Rose, salah seorang Subject yang kakak kandungnya sendiri adalah Warden yang mengawasi dirinya. Alasan kenapa ia ingin bertemu dengan Will mungkin akan dijumpai di chapter berikutnya. Saya akan sangat senang dan berterimakasih jika kalian mau memberikan komentar atas fiksi ini <3 | |
|  | | Sponsored content
 | Subject: Re: Code: Asylum The Story  | |
| |
|  | | | Code: Asylum The Story | |
|
Similar topics |  |
|
| Permissions in this forum: | You cannot reply to topics in this forum
| |
| |
| |