Prologue (Masayoshi Shinoa)
Seorang gadis bersurai hitam dengan syal di lehernya tampak menempelkan wajahnya ke meja kelas. Ketika ia di toilet tadi, para pembully di kelasnya menyiramnya dengan air comberan yang mereka ambil entah dimana. Isak tangis samar-samar terdengar dari dirinya. Sementara para gadis-gadis lain yang berkumpul di depan pintu kelas tampak berbisik-bisik sembari menatap ke arah gadis itu. Ia tidak mendengar apa yang didiskusikan gadis-gadis itu, tapi ia dapat memperkirakan apa yang mereka gosipkan.
“Hey, hey, tahu tidak? Lagi-lagi, gadis itu di-bully, loh.“
Tidak, tolong hentikan—“Wah, kasihan ya. Rekor baru loh! 12 kali seminggu! Apa boleh buat, soalnya dia lemah sih, jadi susah menolongnya.. lagian entar aku bakal dijauhin sama Rieko dkk.”
Tolong aku—!“Heh. Kalian ini. Stop membicarakan orang lain dengan hal-hal buruk, tukang gosip!”
Wajahnya tidak menempel di meja lagi. Kali ini, diangkat. Suara maskulin tampak menghentikan gerak mulut gadis-gadis yang sedang menongkrong di depan pintu kelas itu, yang ketika ia lihat merupakan salah seorang teman sekelasnya. Amagiri Naoto.
Amagiri Naoto—seorang yang berperawakan tinggi dan tegap. Rambutnya berwarna coklat—dengan iris coklat pula.
"H-hiiii, Naoto..." ucapan itu berhasil membuat Naoto mengerutkan alis. "Hm kenapa? Ada yang salah dengan—" belum sempat Naoto menyelesaikan perkataannya, gadis-gadis itu dengan cepat melarikan diri entah kemana, ia tidak peduli.
Naoto tampak mendekat ke arahnya, membuat Shinoa terhenyak sebelum memalingkan pandangan ke arah lain. Naoto terkekeh. "Heh. Manis sekali, sih, kamu ini—" ucapan yang berhasil membuat Shinoa terhenyak untuk kedua kalinya, kini sembari menatap ke arahnya.
"Hm? Kenapa? Kok, kaget?" tanya Naoto sembari mengerutkan alis. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan sedikit, untuk memandang Shinoa. Shinoa sedikit menjauhkan tubuhnya dari Naoto. "J—JANGAN MENDEKAT!" teriakannya berhasil membuat seisi kelas terdiam dan memandanginya. Naoto tampak memandangnya dengan pandangan heran. "Hei kenapa? Kau sa—" kali ini, Naoto mengulurkan tangannya, mencoba menangkap tangan Shinoa.
PLAKK!
"JANGAN DEKATI AKU!"
Dengan gemetar, Shinoa bangkit berdiri lalu berlari keluar kelas. Meninggalkan Naoto yang setelah beberapa saat terpaku, segera mencoba mengejar Shinoa. Namun terlambat—ia sudah tidak melihat Shinoa. Naoto menghela nafas, lalu ia duduk di mejanya sambil mengambil roti melon dari dalam tasnya.
Dua orang pemuda masuk ke dalam kelas, lalu langsung menghampiri Naoto dan duduk mengelilingi Naoto. Mereka sempat bertegur-sapa sebentar, lalu tenggelam dalam diam karena masing-masing sedang memakan cemilan mereka.
Beberapa saat kemudian, Naoto menceletuk, "Hei. Masayoshi Shinoa itu—kenapa, ya? Apa ia memang takut pada semua orang karena sering di-bully?" tanyanya. Beberapa lama ia tidak mendapat jawaban, sampai ada salah satu temannya yang menjawab. "Masayoshi itu.." temannya tampak menggumam sebentar, lalu menghela nafas. "Entahlah, orangnya aneh. Pikirannya tak mudah ditebak, kalau disapa ia malah bilang 'jangan dekati aku' atau semacamnya. Pokoknya, ia bisa digolongkan ke dalam jenis
'remaja yang memiliki kelainan mental'. Karena sering di-bully mungkin—oh iya, kenapa kau bertanya? Kau tertarik padanya?" temannya itu menyeringai.
Naoto menghela nafas. "Bukan begitu, dan bukan itu maksudku. Maksudku... apakah ia pernah mengalami suatu kejadian di masa lalu yang menyebabkan ia menjadi takut pada semua orang seperti itu? Mungkin punya masalah dengan orangtua atau bagaimana—kurasa perlu dilaporkan ke guru konseling," timpal Naoto. "Karena, bullying tidak menyebabkan hal separah itu."
.
.
.
.
"Hiks.. huu..."
Shinoa tampak menangis tersedu-sedu di toilet perempuan, bilik paling ujung. Dari waktu istirahat tadi sampai bel masuk berbunyi, ia masih tetap menangis disini. Beberapa orang sempat masuk ke dalam bilik-bilik lain dan mungkin agak sedikit takut mendengar tangisannya. Tapi ia justru lega, karena geng Rieko dkk. sama sekali tidak membullynya.
Saat tangisannya sudah cukup reda, ia berjalan keluar dari toilet lalu berjalan masuk menuju kelasnya. Saat ia masuk kelas, tiba-tiba seisi kelas hening dan guru yang sedang menjelaskan tampak menghampirinya.
"Dari mana kau, Masayoshi Shinoa?"
Shinoa sudah biasa mengalami hal seperti ini, dimana ketika ia lama tidak kembali ke kelas karena sedang dibully atau sedang menangis di suatu tempat. Karena itu, ia sama sekali tidak takut akan hal semacam ini.
"Toilet.."
"Kau sakit? Kalau masih sakit, ke ruang kesehatan saja." lalu, sang guru berjalan ke tengah-tengah kelas dan kembali menjelaskan. Shinoa menghela nafas, lalu berjalan ke bangkunya dan duduk di situ.
Saat tengah mendengarkan penjelasan gurunya, tiba-tiba ia merasa perutnya sakit. Segera ia berjalan ke arah sang guru.
"Bu—ke ruang kesehatan sebentar."
"Baiklah."
Ia berlari kecil menuju ruang kesehatan. Saat itu, ruang kesehatan dipenuhi oleh para anggota komite kesehatan yang tengah mengurus murid-murid yang sakit. Shinoa berjalan masuk, lalu bergegas meminta izin pada orang yang mengelola ruang kesehatan waktu itu. Ia berjalan menuju meja pendataan, dan ia segera melayangkan izinnya.
"Permisi, Senp—"
"Iya?"
DHEG.
Jantung Shinoa seolah berhenti berdetak saat itu juga.
Shinoa melirik ke arah nama yang dijahit di seragam orang itu. Mikado Renji—ia harus mengingatnya.
"Maaf? Ada yang bisa kubantu?"
"Ah! I-iya," Shinoa sedikit menundukkan kepalanya. "Perutku sakit. Jadi—"
"Oh. Ya," Renji menjawab. Renji meraih mousenya, mengarahkan kursor ke kolom baru di Ms. Powerpoint yang sedang dibuka oleh komputer itu kini. Jemarinya ditaruh di atas keyboard.
"Namamu?"
Shinoa bergumam sebentar.
"Masayoshi Shinoa, Senpai."
"Masayo—?"
"Masayoshi Shinoa."
"Masayoshi Shinoa," Renji mengulang ucapan Shinoa lalu mulai mengetik. Setelah selesai mengetik, ia menoleh ke arah Shinoa. "Sakit apa kau tadi kalau tak salah—perut, ya? Sakit di perut bagian mana?"